Monday, July 28, 2008

Papua Journey

Diposkan oleh ummina daffawwaz di 12:05 PM
Rabu, 23 Juli 2008

Malam ini pesawat Merpati Air yang akan membawa Ummi ke Papua dijadwalkan take off pukul 20.00. Eh ternyata dua jam pesawat delay, sehingga kami baru naik pesawat pada pukul 22.00.

Lelah karena nunggu pesawat, membuat mata Ummi terkantuk-kantuk. Belum sempat tidur pules, pesawat sudah harus transit di Surabaya. Merpati punya kebijakan untuk memaksa seluruh penumpang turun dan menunggu di bandara. Ya udah deh, dengan mata setengah terpejam kami turun. Waktu menunjukkan pukul 23.55 WIB ketika kami turun dari pesawat.


Kamis, 24 Juli 2008

Setengah jam kemudian kami kembali masuk pesawat dan wiiing pesawat melaju lagi menuju Makassar. Pesawat tiba di Makassar pukul 02.00 WIB

Setelah transit hampir satu jam, pesawat berangkat menuju pemberhentian terakhir .. bandara Sentani di Papua. Lama perjalanan sekitar 3 jam, diperkirakan kami akan tiba di Sentani pukul 09.00 waktu setempat atau 07.00 waktu Jakarta. Jadilah kami memperkirakan datangnya waktu subuh, bertayyamum dan shalat subuh di dalam pesawat.

Kami begitu exciting menunggu waktu landing. Rasanya waktu cepat sekali berjalan karena kami datang menghampiri matahari. Punggung yang pegel-pegel dan kaki yang sudah mulai kaku karena terus tertekuk langsung terobati ketika kami turun dari pesawat. Bye bye Merpati…..

Udara yang sejuk dan pemandangan yang cantik di sekeliling bandara makin membuat Ummi merasa beruntung ditakdirkan bertugas ke Papua beberapa hari ini. Meskipun sebenarnya sedih juga ninggalin Abi dan anak-anak di rumah.

Dua jam setengah kami berbincang-bincang dan menunaikan tugas pertama di Papua. Di meja terhidang singkong goreng dan pisang goreng dilengkapi dengan cocolan sambel. Duh nikmatnya, jauh lebih nikmat daripada makanan dalam pesawat.

Di bandara Sentani ini kami melihat tumpukan barang-barang logistic yang dibutuhkan rakyat Papua yang tinggal di pedalaman menunggu didistribusikan. Satu-satunya angkutan yang dapat mengangkut mereka adalah pesawat-pesawat terbang berbadan kecil milik swasta, misionaris, dan TNI AU. Tapi sepertinya jumlah angkutan itu tidak sebanding dengan jumlah barang yang harus diangkut.

Tumpukan sembako yang harus didistribusikan ke wilayah-wilayah di Papua

Waktu sudah mulai beranjak siang ketika kami meninggalkan bandara untuk menuju penginapan di Jayapura. Dalam perjalanan ke Jayapura kami berhenti di sebuah Restoran khas Papua di tepian danau Sentani. Menunya … ikan dalam berbagai olahan, sayur bunga papaya yang sedikit pahit, plus yang khas adalah papeda. Papeda adalah sagu rebus yang berbentuk seperti lem. Karena lengket, papeda diletakkan di atas piring makan setelah piring dituangi kuah ikan. Cara mengambilnya diputar-putar dengan garpu khusus yang terbuat dari kayu.

Danau Sentani

O, ya bunga pepaya dan daun pepaya menjadi makanan rutin penduduk dan pendatang karena rasa pahitnya dipercaya dapat mencegah kita dari penyakit malaria. Masuk akal sih, soalnya kami juga diminta minum obat anti malaria yang rasanya puahit sebelum, selama, dan setelah mengunjungi Papua.

Puas menikmati makanan dan pemandangan danau, kami melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Memasuki kota Jayapura kami terkesima oleh lansekapnya. Ke kiri kami lihat gunung dan ke kanan kami lihat lautan.

Begitu tiba di Swiss-belhotel yang kami ingin lakukan adalah mandi! Bayangkan sejak Rabu pagi sampai sore ini tubuh kami belum bertemu air. Sejuknya air membuat mata kami ingin terpejam saja. Tapi tentu saja shalat dhuhur dan ashar tetap harus ditunaikan terlebih dahulu.

Matahari sudah tenggelam ketika kami bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar dan bersemangat daripada tadi siang. Karena perut sudah terasa kosong, selepas Isya kami pun berangkat menuju restoran yang bernama Bagus Pandang. Sesuai dengan namanya, dari resto ini kami dapat memandang kota Jayapura di malam hari. Kelip-kelip lampu dan suasana pelabuhan terlihat begitu cantik, mengingatkan pada suasana Hongkong di malam hari. (kayak yang pernah ke Hongkong aja).

Abi ngiri berat lho waktu Ummi kasih tau keindahan pemandangan malam ini, Daffa bolak-balik nanya boleh nggak kalau ia ikut menjemput di Bandara kalau Ummi pulang, Faw-faw melaporkan yang sedang dikerjakannya.

Mengingat besok masih banyak yang harus dikerjakan, malam ini kami memaksakan diri untuk tidur cepat.


Jumat, 25 Juli 2008

Pukul 05.30 terdengar adzan subuh, ini berarti masih 02.30 di Jakarta. Ummi telepon ke ponsel Abi untuk membangunkannya agar bisa QL.

Perlahan-lahan pendar-pendar cahaya menelusup melalui jendela kamar hotel. Tergoda menikmati udara pagi, Ummi beranjak dan membuka jendela kamar. Ahhh segar sekali. Terlihat matahari mulai menyingsing di sela pulau-pulau kecil yang melindungi teluk Jayapura. Berlama-lama kami di tepi jendela itu, mengamati matahari yang beranjak naik dan menyaksikan nelayan-nelayan mulai menebar jala di teluk yang tenang nyaris tanpa ombak.

Sunrise in Jayapura Bay (dilihat dari jendela hotel)

Tak terasa perut mulai minta diisi. Kami pun turun sarapan sekalian check out, karena hari ini kami akan berangkat ke Wamena.

Sebelum berangkat ke Wamena kami sempat mampir ke kantor Bank Muamalat yang terletak di dekat hotel tempat kami menginap. Kami sempat berfoto dengan penduduk asli yang menjadi nasabah bank syariah ini.
Dari bandara Sentani, kami menggunakan pesawat ATR72 untuk menuju bandara Wamena. Wah, di pesawat ini kami bersatu dengan telur, ayam, ikan, minyak, dan lain-lain. O, ya hari itu dalam pesawat kami juga terbang pemain sepakbola PERSITARA yang akan bertanding dengan PERSIWA sore ini.

Pemandangan dari dalam Pesawat


Bandara Wamena yang dikelilingi pegunungan

Masjid Agung Wamena, khas Masjid Yayasan pak Harto

Seusai bapak-bapak sholat Jumat, kami pun ke tempat Mas Budi. Tadinya kupikir rumah seseorang yang dikenal oleh teman-teman di Wamena. Eh ternyata itu adalah nama sebuah rumah makan milik keluarga yang berasal dari Jawa. Kami menghabiskan beberapa porsi "udang SELINGKUH" (udang Wamena yang memiliki capit seperti kepiting) di rumah makan Mas Budi ini. Siang ini adalah makan siang paling sukses, bahkan telur dadar pun terasa nikmat sekali. Mungkin karena udara Wamena yang sejuk membuat selera makan kami meningkat. Di samping itu juga karena harga telur dadarnya yang membuat kami tercengang (Rp.30.000,-/porsi)

Seusai makan Pak Michael mengajak kami mengunjungi rumah penduduk asli Wamena (suku Dani). Dalam perjalanan kami memuaskan menikmati ciptaan Allah swt yang begitu mempesona.

Jalan masuk ke perkampungan suku Dani

Ummi dan teman-teman berfoto bersama Mummi yang katanya berusia 350 tahun
(maaf banyak foto lain yang disensor nggak bisa ditampilkan)

Jalan setapak dari lembah ke puncak bukit. Kebayang capenya mendaki ke sana ....
Rumah penduduk suku Dani dikelilingi pagar kayu

Pak Michael kemudian mengajak kami berhenti sejenak di sebuah pasar.

Suasana pasar di Wamena, ada turis ule-bule juga lho

Ummi bergaya di antara dagangan pasar. Bunganya cantik buanget lho

Perjalanan diteruskan ke sebuah jembatan gantung yang berada di atas sebuah sungai.

Sabtu, 26 Juli 2008

Jam 6 waktu Wamena (4 pagi waktu Jakarta) kami sudah check out dari Hotel Baliem Palimo Indah. Sambil menunggu pesawat yang akan membawa kami kembali ke Sentani, kami berputar-putar mengelilingi 'kota' Wamena. "Serasa ada di Jawa beberapa puluh tahun yang lalu", kata bu Luluk.

Mejeng di depan Hotel setelah check out

Kami sedikit berdebar-debar, karena menjelang take off cuaca masih berkabut. Maklum terbang dengan pesawat yang biasa terbang dengan ketinggian 11.ooo kaki pada cuaca berkabut memang riskan karena ketinggian gunung-gunung di sekitar Wamena ini mencapai 15.000 kaki.

"Ya Allah, aku pasrahkan diri pada-Mu", bisik Ummi ketika di dalam pesawat tidak ada yang bisa kami lihat selain kabut putih tebal.

Mendekati bandara Sentani, barulah kabut menipis. Plong rasanya.

Iseng-iseng Ummi tanya, "Di kokpit bisa kelihatan nggak apa yang ada di depan?"
Ternyata pilot juga tidak bisa melihat apapun lho. Tapi pilot punya trik.... dia menerbangkan pesawat di ketinggian 17.000 kaki supaya tidak beresiko menabrak gunung. Tapi dia tidak menjelaskan adakah resiko lain menerbangkan di ketinggian itu. Ah.... nggak usah dipikirin lagi.

'N this is the brave pilot

0 komentar:

 

sanifamily Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez